Oleh: Sulis Syakhsiyah Annisa | 22 Desember 2009

Kapita Selekta Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Dalam kitab-kitab Fiqh, Tidak ada perintah pencatatan: akad nikah sah jika telah memenuhi rukun dan syarat nikah. Hampir semua ‘ulama mewajibkan adanya saksi dalam akad nikah, yang fungsinya mengumumkan pernikahan, kecuali Malik yang menekankan fungsi saksi, yaitu mengumumkan. Maka saksi tidak begitu penting, tetapi tetap menjadi syarat, jika pengumuman tetap dilaksanakan . Saksi boleh disusulkan setelah akad nikah, sebelum jima’ dilakukan.

Dalam Perundang-undangan Indonesia:

1. UU No. 22/1964, administrasi saja; perkawinan diawasi oleh pegawai pencatat

nikah, tanpa pengawasan dikenakan sanksi (pelanggaran),

2. pasal 2 (2) UU No. 1/ 1974 (hal. 72); tiap2 perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, tapi pasal  2 (1) menyebutkan bahwa ‘Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hokum masing2 agamanya dan kepercayaannya itu’.

3. pasal 5 (1-2); ‘Agar terjadi ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat’, pasal 6 (1-2) KHI (hal. 15); perkawinan yang dilakukan di luar pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hokum.

4. Jadi pencatatan tidak merupakan syarat sah pernikahan, tapi penjelasan UU/1974 menyebutkan bahwa peraturan perundang-undang merupakan unsur yang harus dipenuhi untuk kesahan akad nikah.

Pandangan Scholars :

Ketidakjelasan aturan tentang pencatatan menimbulkan debat. Pencatatan menjadi syarat sahnya pernikahan; dengan alasan: pasal2 peraturan perundang-undangan pelaksanaan UUP (PP No. 9/1974), ayat-ayat pada UUP merupakan satu kesatuan –perkawinan yang telah memenuhi syarat-syarat keagamaan segera disusul oleh kewajiban  pendaftaran/pencatatan. Pencatatan hanya merupakan syarat administrasi; dengan alasan: UU No. 22/1946 yang menekankan pada administrasi saja, sanksi hukuman berarti administratif dan bukan menjadikan pernikahan tidak sah hanya karena tidak dicatat, syarat dan rukun agamalah yang menjadi ukuran sah atau tidaknya perkawinan. Dualisme muncul dalam hal ini. Phrase, “sah secara agama tidak sah secara negara”, akhirnya sering terdengar.

Praktek: Cases of unregistered marriages.

Masyarakat di desa banyak yang nggak peduli dengan keharusan pencatatan nikah, Biaya menikah di KUA masih merupakan masalah. Banyak masyarakat yang tidak mampu mebayar meski biaya relatif kecil, padahal mereka ingin menikahkan atau menikah. Mereka tidak peduli pentingnya pencatatan. Mereka baru merasa butuh ketika dihadapkan pada urusan-urusan hukum lainnya, seperti pembuatan akte lahir untuk anaknya. “Kawin kampung’, “kawin di bawah tangan”, dan “kawin sirri”, menjadi solusi dan marak, menandakan pernikahan tak tercatat masih sangat biasa. Bukti banyaknya perkawinan tak tercatat dapat dilihat pada banyaknya kasus itsbat nikah yang diajukan ke PA, seperti terlihat di beberapa wilayah, spt, Cianjur, Cibinong, Jakarta Selatan, dll. Penelitian terhadap sikap dan potensi fisik dan sosial pegawai KUA, mengemukakan bahwa di daerah pandeglang, dan Situbondo, penikahan di bawah tangan masih banyak dilakukan karena alasan2 di atas. PA Jakarta Selatan telah mengeluarkan putusan yang mengesahkan akad pernikahan lewat telpon. Putusan menuai kritik dan debat. PA mendasarkan putusan pada praktek nikah di mana Nabi menjadi wakil seorang laki-laki yang menikah (padahal praktek itu berbeda dengan praktek nikah lewat telpon) Mimbar Hukum menampilkan analisis atas putusan tersebut oleh Prof. Dr. Satria Effendi.

Akad Nikah Fia Telpon

Salah satu syarat akad nikah adalah satu majlis.

Tujuan satu majlis yaitu:

1. Imam Hanafi; berkesinambungan akad, ijab dan qabul.

2. Imam Shafi’i; berkesinambungan akad, ijab dan qabul, dan mu’ayanah (masing-masing pihak dapat saling melihat.

3. Jika dikaitkan pendapat kedua madhhab ini dengan kasus menikah lewat telpon, maka, nikah tersebut bisa dikatakan sah jika dilihat dari pendapat imam Hanafi, karena meski tidak satu majlis, tujuan berkesinambungan dapat tercapai. Namun, jika dilihat dari pendapat shafi’I, nikah tersebut tidak memenuhi syarat akad, karena dengan tidak satu majlis, kedua belah pihak tidak saling melihat (mu’ayanah).

4. Hal ini juga bisa dikaitkan dengan posisi dan syarat saksi menurut kedua imam ini, di mana menurut Hanafi saksi buta boleh, karena yang disaksikan hanyalah suara, sementara menurut Shafi’I saksi harus bisa melihat dan mendengar, karena selain suara, fisiknya harus dapat dilihat dan dikenali.

5. Terlebih Shafi’I menekankan pada unsur ta’abbudi akad pernikahan, artinya karena nabi tidak pernah mencontohkan praktek pernikahan seperti itu, maka pernikahan dengan model tersebut, bisa dikatakan tidak sah.

6. Nabi telah memberikan dua contoh praktek akad nikah, calon suami dan istri (wali) hadir dan berhadapan langsung, atau suami mengirimkan wakilnya untuk menggantikannya di dalam akad, dan kedua cara inilah yang harus diikuti.

Dalam KHI, akad pernikahan telah diatur pada pasal 27, di mana akad harus beruntun dan tidak terselang waktu. Pasal 28 dan 29 menyebutkan bahwa pernikahan harus dihadiri oleh suami dan jika suami tidak bisa hadir ia bisa mewakilkan kepada orang yang ia percayai. Beberapa menganggap bahwa PA jakarta selatan melalui putusannya telah keluar dari koridor hukum yang ada. Beberapa yang lain berpendapat bahwa hakim boleh berijtihad dan hakim PA Jakarta selatan telah melakukan itu.

Kawin Hamil dan Nasab Anak

Jumhur ‘ulama (Imam Sunni yang Empat) memperbolehkan praktek nikah hamil (tidak harus menunggu melahirkan). Namun mereka berbeda pendapat mengenai dengan siapa mereka (wanita2 hamil itu) boleh menikah dalam keadaan hamil. Imam Malik dan Hambali; hanya boleh dengan yang menghamilinya saja. Imam Shafi’I dan Hanafi; boleh dengan orang yang menghamilinya dan juga yang bukan menghamilinya (Jika yang bukan menghamilinya yang mengawininya maka mereka tidak boleh digauli dahulu, sampai mereka melahirkan dan iddahnya habis),  (KHI mengadopsi pendapat Malik dan Hambali). Status anak dari wanita hamil di luar nikah; nasab hanya pada ibunya saja (meski mereka menikah dengan yang menghamilinya); Hal ini dikaitkan dengan pendapat ‘ulama yang mengatakan bahwa anak yang lahir di bawah 6 bulan setelah perkawinan ibunya, anak tersebut dapat diingkari oleh bapaknya dan nasabnya tidak bisa dihubungkan pada bapaknya. KHI mengesahkan tersambungnya nasab si anak dengan bapaknya jika ibu dan bapak yang menghamilinya menikah dan bapak berhak menjadi walinya.

Menikah Beda Agama

Menikah dengan Musyrik, Musyrik; penyembah berhala, penyembah api dan benda2 lain. Haram menikah laki-laki muslim atau wanita muslim dengan non muslim/ musyrik. Musyrik diartikan selain kelompok di atas juga penganut agama kristen/nasrani; tidak ada yang lebih musyrik ketimbang mereka yang menganggap Isa Tuhan mereka, demikian menurut kelompok ini. Dasar hukum dalam al-Qur’an, La tankihu al musyrikat hatta yu’minna walau a’ajabatkum…..; wala tunkihu al musyrikin (al-baqarah: 5)

Menikah dengan ahlul kitab

Haram menikah wanita muslim dengan laki-laki ahlul kitab, Boleh menikah laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab. Dasar dalam al-Qur’an: Al yauma uhilla lakum…….Siapa ahlul kitab? Golongan yang memegang kitab-kitab suci yang diturunkan Allah selain al-Quran, Dikaitkan dengan kondisi sekarang: Mereka yang keturunan bani israel (Shafi’i), Mereka yang sampai sekarang ahlul kitab tanpa terhalang/terganggu oleh generasi yang bukan ahlul kitab /khalisah (Shafi’i). Beberapa kalangan akhirnya menyimpulkan bahwa hampir tidak ada kaum nashrani yang memenuhi kriteria tersebut di atas, dan menikah dengan ummat nasrani yang ada pada saat ini haram hukumnya. Beberapa pemikir mengemukakan bahwa ahlul kitab adalah semua orang nashrani yang sampai sekarang memegang kitab suci (samawi) tanpa melihat kondisi yang disebutkan diatas, dan menikah dengan mereka diperbolehkan.

Riddah dan Efeknya Terhadap Setatus Pernikahan

Riddah artinya keluar dari agama Islam/ kembali kepada kekufurannya yang dilakukan oleh orang yang sudah baligh dan dilakukan atas kemauan sendiri.

Menurut fiqh riddah mengakibatkan batalnya perkawinan, dengan rincian beberapa pendapat;

*  Hanafi dan Maliki; akad nikah batal seketika riddah terjadi baik sebelum atau sesudah jima’ dilakukan

* Shafi’I dan Hambali; jika riddahnya dilakukan sebelum jima, nikah batal seketika itu juga, tapi jikan riddah dilakukan setelah jima’ dilakukan, pembatalan pernikahan ditangguhkan hingga masa iddah istri habis. Jika sebelum iddah habis si murtad kembali pada islam lagi, maka ia tetap pada status pernikahannya. Tapi jika ia kembali pada islamnya setelah masa iddah habis, atau ia tidak kembali, maka antara keduanya telah dinyatakan pisah ketika riddah terjadi.

* Pendapat lain (Ibn Taimiyyah) mengatakan bahwa jika salah seorang pasangan melakukan riddah, pernikahannya dibekukan. Apabial si murtad kembali pada islam lagi, pernikahan dilanjutkan (sah lagi), baik kembalinya pada Islam itu sebelum maupun setelah iddahnya habis.

Dalam Peraturan di Indonesia

UU No 1/ 1974 tidak mengatur tentang masalah murtad (tidak menjelaskan efeknya terhadap perkawinan)/ namun dalam prakteknya hakim sering memutuskan cerai pada pasangan yang salah satunya melakukan riddah. KHI memasukan riddah sebagai salah satu alasan perceraian dengan syarat jika riddahnya tersebut menyebabkan terjadinya perselisihan (psl 116 (h)). Dalam praktek, hakim memandang bahwa ada atau tidak adanya perselisihan yang diakibatkan oleh riddahnya salah saorang pasangan, pernikahan harus diputuskan. Efek terhadap hadanah adalah bahwa pihak yang murtad sering tidak diberikan hak pengasuhannya. Mala meskipun anak masih di bawah umur, pengasuhan anak sering dipindahkan kepada pihak lain, bapak, jika si ibu yang melakukan riddah.

Kewarisan : Ahli Waris Pengganti

Hukum Kewarisan di Indonesia pada umumnya mengadopsi aturan yang ada dalam buku-buku fiqh, yang merujuk pada nash Qur’an, text hadith dan Ijma’ fuqaha. Namun, dalam beberapa hal KHI mengakomodir tradisi lokal dan tuntunan beberap pihak, terutama wanita. Salah satu aturan yang dapat dianggap sebagai usaha mengakomodir adat adalah aturan adanya ahli waris penganti, pasal 185 (1-2). Kewarisan adat dalam sistem matrilineal dan juga patrilineal turut mempengaruhi aturan itu (seperti terekam dalam pemikiran Hazairin) Adopsi rupanya juga memilki akarnya pada aturan BW tentang plaatsvervulling, penggantian tempat dalam kewarisan, yang pernah dipraktekan di PTN Medan melalui putusannya, No. 195/1950, yang menetapkan bahwa anak si anak yang meninggal terlebih dahulu dari ayahnya, mendapatkan harta warisan dari ayah ayahnya (kakek), ketika ia meninggal. Putusan yang sama pernah juga dikeluarkan oleh PN Batavia, pada Desember 1932.

Isi pasal 185 KHI

” Ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari mayit dapat digantikan kedudukannya oleh anaknya”  (ayat 1)

Pasal ini sering ditafsirkan luas, karena pemakaian kata ahli waris yang sangat umum. Anak dari saudara mayat yang meninggal lebih dahulu dianggap juga dpat menggantikan ayahnya (saudara mayat), padahal tujuan awal dari aturan itu adalah untuk menyelesaikan permasalah cucu yatim, yang merupakan masalah global di hampir seluruh dunia Muslim; Mesir, dan negara timur tengah lainnya menyelesaikannya dengan konsep wasiat wajiba. Pakistan menyelesaikannnya dengan sistem ahli waris pengganti, dengan aturan yang sangat specifik dan jelas, karena hanya mengatur cucu mayat (dengan pemakaian kata yang langsung mengarah pada maksud, yaitu anak si anak dari mayat) Maka pembagian warisan berdasarkan pada pasal 185 (1) tersebut, jika ahli waris terdiri dari, misalnya; anak laki-laki, anak perempuan, dan anak(lk or pr) dari anak pewaris (mayat) yang telah meninggal terlebih dahulu, dengan, misalnya, Rp. 1.000.000,  adalah sbb:

* Anak laki-laki=2/5×1.000.000= 400.000

* Anak perempuan= 1/5×1000.000=200.000

* Anak dari anak laki-laki (cucu mayat=2/5×1.000.000=400.000 (harta habis)

Pembagian itu dianggap kurang memberikan keadilan pada anak perempuan si mayat (hal ini telah dipikirkan sejak penyusunan KHI), karena ank memperoleh bagian lebih kecil dari cucu. Maka disisipkan klausa dalam pasal tersebut dalam ayat 2, yang menyatakan bahwa bagian waris dari ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian dari ahli waris yang sederajat dengan yang digantikan.

Pembagian kewarisan dengan mendasarkan pada ayat 1-2 tersebut, menjadi;

* Anak laki-laki=2/5×1.000.000= 400.000

*  Anak perempuan= 1/5×1000.000=200.000

* Anak dari anak laki-laki (cucu mayat=1/5×1.000.000=200.000

* Sisa harta Rp. 200.000 dibagi sama antara anak pr dan cucu (anak dari anak laki yang telah meninggal, dan masing2 mendapat Rp. 300.000)

Aturan ini mendapatkan kritik dari kalangan ahli hukum Islam, beberapa, (di antaranya para hakim) setuju dengan pasal tersebut tetapi tidak dengan ayat 1 nya dan menuding KHI tidak konsisten dengan konsep ahli waris pengganti. Beberapa yang lain menganggap bahwa pasal tersebut secara keseluruhan baik dan pas untuk diterapkan, Beberapa yang lain termasuk ahli hukum Islam spt Minhajul falah, tidak setuju sepenuhnya dengan konsep itu dan cenderung menginginkan konsep wasiat wajiba untuk kasus cucu yatim, spt yang diterapkan di beberapa negeri muslim lainnya. Pembagian kewarisan atas dasar kesepakatan diperbolehkan. KHI mengaturnya dalam pasal 183, yang menyatakan bahwa harta waris dapat dibagikan sesuai dengan keinginan dan kesepakatan para ahli waris, tetapi mereka harus terlebih dahulu mengetahu dan menyadari bagian masing2 sesuai dengan aturan kewarisan Islam.

Oleh: Euis Nurlaelawati (Dosen di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)


Tinggalkan komentar

Kategori